Senin, 04 Agustus 2008

Politik Kesejahteraan

Pendahuluan

Belum lama ini, Wakil Presiden RI, HM. Jusuf Kalla (JK), yang kebetulan menjabat Ketua Umum Partai Golkar berpendapat bahwa demokrasi tidak penting, yang lebih penting adalah kesejahteraan rakyat, sehingga demokrasi bisa dikesampingkan, yang diutamakan adalah kesejahteraan rakyat. Melihat perkembangan situasi tingkat kesulitan masyarakat dalam mengakses kebutuhan ekonomi sehari-harinya, dimana Bahan Bakar Minyak dunia cenderung naik, harga sembako juga naik, dsb, jika ditelaah lebih lanjut, pernyataan JK mengandung pesan yang sangat mulia yakni “kekuasaan adalah alat untuk mensejahterkan rakyat”.

Memasuki era reformasi tahun 1998, dengan dipilihnya system demokratis sebagai system pemerintahan kita, sebenarnya ada upaya dari warga negara yang menginginkan dipenuhinya hak-hak dasar yang dimiliki oleh warga negara sendiri oleh pemerintah. Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu factor utama yang menjadi tujuan dari system pemerintahan demokrasi, disamping tujuan untuk memberikan kebebasan warga negara dalam mengeluarkan pendapat, kebebasan berorganisasi, persamaan didepan hukum, dsb.

Menjadi sebuah paradoks memang ketika demokrasi yang telah kita pilih ternyata malah menyebabkan tingkat kesejahteraan ekonomi warga negara menjadi semakin menurun. Dari mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2008 ini, telah 10 (sepuluh) tahun bangsa kita berada dalam ruang demokrasi. Sistem pemerintahan sebagai sebuah software telah dirubah, para pengambil kebijakan sebagai sebuah hardware juga telah diganti, tapi yang sekarang terjadi ternyata bukan meningkatnya kesejahteraan rakyat, menurunnya angka pengangguran, dsb; yang terjadi adalah merebaknya budaya korupsi, semangat separatisme meningkat, bahan bakar minyak sulit didapat, dsb. Apanya yang salah dengan semua ini? Demokrasi yang diagungkan sebagai sebuah pilihan system politik yang akan memberikan segudang kebaikan ternyata tidak bisa menjawab itu semua, kembali ke system non demokratis pun tidak memungkinkan karena berarti sebuah kemunduran.

Anggaran yang dibutuhkan untuk menjalankan roda demokrasi sangatlah mahal. Sangat disesalkan jika dalam pemilihan kepala daerah langsung, yang terjadi ternyata hanyalah perebutan kekuasaan sesaat dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Banyak dari para elit politik dan birokrat kita masih mementingkan dirinya sendiri yang bereuphoria dalam pusaran pesta demokrasi, mengagungkan narasi indah demokrasi, tapi tujuan dari demokrasi itu sendiri untuk kesejahteraan rakyat belum matang terfikirkan, alhasil rakyat kita tidak terperhatikan sebagaimana mestinya. Dalam kondisi seperti ini, tak pelak jika angka kemiskinan semakin meninggi. Politik yang menurut Aristoteles pada hakekatnya ada untuk kemaslahatan orang banyak, juga telah berubah makna seolah-olah politik hanya mengurusi kekuasaan belaka, tidak memberi ruang pada upaya meingkatkan kesejahteraan.

Penolakan terhadap system demokrasi semakin kuat dengan bemunculannya kelompok-kelompok masyarakat yang menawarkan konsep khilafah Islam, otoritarianisme, dsb. Tak menutup kemungkinan jika demokrasi secara terus menerus tetap menghasilkan kemunduran seperti ini maka bukan kesejahteran yang dipetik, tapi kemiskinan yang dituai. Kemunculan gerakan Partai Komunis Indonesia dengan bentuk baru yang memperjuangkan system pemerintahan komunis-pun sangatlah terbuka lebar.

Dalam kondisi seperti ini, keraguan orang terhadap demokrasi semakin besar. Tingkat kebosanan orang pada Pemilu, Pilpres, dan Pilkada sebagai perwujudan dari demokrasi juga meningkat. Eksistensi demokrasi sebagai pilihan sadar yang dipakai pada system pemerintahan kita juga banyak yang menggugat. Demokrasi yang diadopsi Indonesia sekarang ini dianggap belum efisien dan belum efektif untuk mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Demokrasi sebagai sebuah konsep politik dan disiplin ilmu yang dapat memberikan kemakmuran rakyat juga dipertanyakan. Pelaksanaan dari demokrasi sekarang ini banyak dikaji dan ditinjau ulang. Kenapa semua ini bisa terjadi dan bagaimanakah sebenarnya demokrasi untuk kesejahteraan dapat diwujudkan?

Politik dan Kesejahteraan

Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sebenarnya telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

Kemiskinan selalu menjadi masalah fenomenal yang hadir menghiasi sejarah pembangunan Indonesia sebagai sebuah negara bangsa. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang layak apalagi berberkualitas. Kemiskinan juga menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan dalam membiayai kesembuhan atas sakitnya, rendahnya minat menabung, tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, dan yang lebih parah kemiskinan telah menyebabkan jutaan rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara minimal.

Di pedesaan, kemiskinan, menyebabkan masyarakat rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life.[1] mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit, akhirnya semangat urbanisasi ke kota semakin meningkat.

Pada masa Orde Baru, angka kemiskinan di Indonesia sebenarnya termasuk tinggi, hanya saja kondisi itu berhasil ditutupi dengan dicapainya prestasi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pula, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996.

Setelah dilanda krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998. Dibawah pemerintahan era reformasi yang dimulai pada tahun 1998, perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan juga sebenarnya masih terlihat cukup besar. Hampir secara umum, semua partai politik yang turut berkontestasi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan Biro Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 tergolong masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.

Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Jika kita melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Komite Penanggulangan Kemiskinan dengan Prof.Dr. Mayling Gardiner dan Evelyn Suleeman dari PT. Insan Hitawasana Sejahtera, maka kemiskinan yang terjadi di Indonesia dengan berbagai keragaman yang terkorelasi pada berbagai klasifikasi kelas ekonomi, jenis dan lokasi tempat tinggal serta jenis kelamin, ditandai oleh keterbatasan akses dan kesempatan.[2]

Keterbatasan kesempatan untuk mengakses sumber daya yang menjadi faktor penyebab kemiskinan tersebut seperti sumber daya modal dan asset untuk berusaha, alat transportasi yang dimiliki (perahu pada nelayan, traktor pada pertanian/perkebunan, dsb), serta sumber daya manusia / modal manusia yang meliputi pendidikan yang rendah, serta keterbatasan akses terhadap pelayanan sarana dan prasarana kesehatan.

Sumber daya manusia dipengaruhi oleh pendidikan, kesehatan, ekonomi, cultural dan struktural. Pendidikan yang rendah dan rendahnya mutu kesehatan masyarakat dipandang sebagai penyebab terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi informasi dan kurangnya keterampilan, dilihat pula sebagai alasan mendasar mengapa kemiskinan dapat terjadi. Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna akan rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara[3]. Secara menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka HDI Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka bebas buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230.

Faktor kultural dan structural kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang sangat menentukan juga dalam tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, dimana variable politik adalah factor penyebab persoalan kemiskinan secara structural. Kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan sangat mendesak untuk diatasi. Karena sangat kompleks dan mendesak, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat akan tetapi harus cepat dan segera. Harus dapat menyelesaikan semua sector yang menjadi akar permasalahan. Diperlukan pula strategi penanganan yang tepat, sustainable dan tidak bersifat temporer. Kebijakan pemerintah yang sangat tepat untuk mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan warga negara tanpa kecuali, adalah factor yang sangat menentukan.

Pilihan kita akan system politik demokrasi sejak tahun 1998, ternyata memang belum berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Pilihan demokrasi yang diterapkan sekarang masih banyak dirasakan masyarakat justru membuat susah ekonomi masyarakat. Demokrasi dirasakan belum berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Faktor Politik

Kalau berbicara politik, maka pertama kali yang tergambar dalam fikiran banyak orang adalah urusan yang ada kaitannya dengan negara. Sering juga tergambar urusan yang ada hubungannya dengan bagaimana supaya jabatan seseorang bisa dipertahankan atau bahkan bisa lebih baik. Politik banyak dilihat sebagai sebuah praktek untuk berkuasa, misalnya melalui pemilihan umum (Pemilu). Politik tergambar seolah-olah hanya terbatas pada rivalitas untuk meraih jabatan yang lebih tinggi.

Pada mulanya, politik sebagai ilmu yang berkembang di Barat, sebenarnya tidak hanya terkait dengan kekuasaan dan mempertahankan jabatan semata-mata. Hakekat dari politik sebenarnya adalah terkait sebagai tugas moral, sehingga politisi seharusnya juga seorang yang bermoral dan mempunyai tujuan moralitas pula. Politik sejatinya diartikan sebagai sebuah cara untuk mencapai nilai-nilai moral yang tertinggi. Dalam keadaan seperti itu, politik diadakan sebagai internal good, yaitu sebagai keseluruhan tindakan untuk menyempurnakan hidup bermasyarakat, tak terkecuali kesejahteraan masyarakat. Aristoteles menyebutkan hal ini dengan konsep Zoon Politikon yang secara gemilang dan komprehensif memperjelas kedudukan politik dalam kehidupan manusia.

Konsep Zoon Politikon yang dikemukakan merujuk pada tiga elemen dasar.[4] Pertama, hakekat dari politik, yaitu hakekat manusia yang secara alamiah selalu berkehendak untuk merealisasikan kapasitasnya dalam kehidupan berkomunitas melalui tindakan pemenuhan keadilan bersama. Dengan demikian politik menurut Aristotelian selalu berisi tindakan yang berorientasi pada dua hal pokok yaitu komunitas dan keadilan. Artinya jelas bahwa tindakan, hanya disebut sebagai tindakan politik jika tindakan tersebut ditujukan untuk secara maksimal merealisasikan kesempurnaan hidup bersama, termasuk kesejahteraan. Jadi, segala jenis tindakan diluar tujuan tersebut, meskipun dilakukan dalam institusi ataupun atribut politik tidak dapat disebut sebagai politik.

Kedua, menurut Arendt, dengan Zoon Politikon Aristoteles juga memasukan elemen prosedural sebagai prasyarat politik: masalah politik adalah urusan tindakan komunikatif (speech action)[5]. Dengan konsepsi ini, tindakan politik tercapai secara sah jika dilaksanakan dalam suatu tindakan komunikatif. Politik hanya bisa disebut sebagai politik jika dilaksanakan dalam prosedur sambung rasa yang persuasife dan mengandalkan komunikasi, bukan dengan kekerasan.

Ketiga, politik adalah langkah pemisahan yang tegas antara politik sebagai urusan dalam polis (publik), dengan urusan-urusan household (keluarga, ekonomi dsb, yang cenderung bersifat privat).

Artinya pada beberapa sisi, kemiskinan memang sebenarnya sangat bertentangan dengan konsepsi politik itu sendiri, hal ini mengingat kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) Memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; serta (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.

Studi politik selanjutnya beralih dari pendekatan filosofi ke pendekatan institusi sehingga kemudian dipahami bahwa orang yang menjadi politisi adalah orang-orang yang mengerti hukum, aturan perundangan dan para hakim, sampai berikutnya berkembang studi politik yang menekankan kepada perilaku politik atau dinamika politik.

Pada perkembangannya politik tidak hanya diaplikasikan sebagai sebuah kewajiban moral, atau penggunaan kekuasaan untuk tujuan moral yang mulia, tetapi lebih dari itu, di Barat muncul apa yang disebut power of politics. Dalam mengartikan “power” atau kekuasaan politik, Robert Dahl mengilustrasikan jika ada seseorang yang bernama X mempunyai power terhadap Y; Pertama jika X mampu dengan berbagai cara agar Y melakukan sesuatu; Kedua, sesuatu itu disukai X; Ketiga, jika Y tidak memiliki pilihan lain untuk melakukannya.[6]

Pada masa kini, pengertian zoon politikon Aristoteles telah berubah secara radikal. Praktek politik sekarang mengenal zoon politikon lebih dalam tiga pengertian buruk, pertama, seorang disebut sebagai binatang politik apabila yang bersangkutan selalu lapar akan kekuasaan, terampil memanipulasi baik orang maupun institusi untuk memuluskan ambisi dan keinginan-keinginannya. Kedua, binatang politik bisa juga diartikan sebagai seorang yang begitu berbakat dalam mempolitisasi segala sesuatu, mengeluarkan isu-isu politik, gemar debat publik, dsb. Ketiga, binatang politik juga bisa merujuk pada performa-atribut seseorang, kemampuan tuk memukau yang manipulatif dalam panggung politik dengan pidato, orasi, dsb.[7]

Kini terdapat banyak pakar politik yang mendefinisikan kata politik secara berbeda-beda. Beberapa diantaranya mengartikan politik adalah apa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana[8]. Kedua, adanya pembagian nilai-nilai oleh yang berwenang[9]. Ketiga, politik adalah kekuasaan dan pemegang kekuasaan[10]. Keempat, politik adalah bagaimana bisa punya pengaruh[11]. Kelima, politik adalah tindakan yang diarahkan untuk mempertahankan dan atau memperluas tindakan lainnya.[12] Dari semua definisi akan kata politik ini, kesamaan umum yang bisa ditarik yaitu tentang adanya sesuatu yang dilakukan orang, dalam hal ini politik adalah kegiatan[13]. Maksudnya kegiatan disini tentunya berbeda dengan kegiatan ekonomi, agama, olah raga dsb. Persamaannya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan public.

Selain demokrasi, dalam konsep ilmu politik kita mengenal adanya beberapa bentuk pemerintahan, yaitu Monarki, Aristokrasi, Oligarki, dll. Menurut Huntington, system politik seperti pada negara kota (polis), demokrasi desa, kerajaan suku-suku, negara patrimonial, pemerintahan feodal, kerajaan birokrasi, aristokrasi, oligarki dan teokrasi merupakan bentuk-bentuk dari system politik tradisional non demokratis. Dalam hal ini, Huntington menggolongkan banyaknya tipe pemerintahan tradisional yang telah menghadapi tantangan politik menjadi dua kategori umum yang sudah dikenal di dalam analisa politik. Bentuk pemerintahan yang demokratis adalah bentuk pemerintahan yang modern.[14]

Pada system politik yang demokratis, masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menentukan siapa calon pemimpin atau wakil rakyat yang layak dipilih mereka. Karena banyaknya jumlah pemilih, jelas antara rakyat pemilih dan orang yang dipilih tidak semuanya saling kenal mengenal satu sama lain, disini yang berperan dalam kemungkinan terpilihnya atau tidaknya seorang pemimpin atau wakil jelas popularitas. Terkait masalah popularitas, factor modal, perilaku politik, komunikasi politik dan sebagainya sebagai bentuk tindakan politik akan sangat menentukan.

Menurut Dahl, asumsi yang mendasari diperlukannya tatanan politik yang demokratis yaitu terkait keputusan yang mengikat hanya dibuat oleh orang-orang yang menjadi subyek keputusan itu, yaitu anggota asosiasi atau masyarakat, bukan orang-orang yang berada di luar masyarakat itu. Jadi, tidak ada seorang pun dari para pembuat undang-undang patut berada diatas undang-undang, akan tetapi tetap berada dibawah undang-undang yang telah disepakati bersama, tak terkecuali penguasa.[15]

Dahl berpendapat ada sekitar tujuh prinsip mendasar sebuah negara bisa disebut demokratis atau tidak. Pertama, pejabat yang dipilih. Kedua, pemilihan yang bebas dan fair. Ketiga, hak pilih mencakup semua orang. Keempat, hak untuk dipilih atau menjadi calon suatu jabatan. Kelima, kebebasan mengungkapkan pendapat diri baik secara lisan maupun tulisan. Keenam, adanya informasi alternatif. Ketujuh, adanya kebebasan untuk membentuk asosiasi.

Dalam melihat demokrasi kedepan, Dahl melihat paling tidak ada 4 (empat) masalah perubahan pokok yang dihadapi demokrasi. Yang pertama yaitu skala, dimana keputusan-keputusan penting telah keluar dari negara kepada system pengaruh dan kekuasaan transisional. Kedua, seringkali terjadi manipulasi terhadap demokrasi, dimana istilah pemerintahan rakyat dipergunakan oleh rezim-rezim yang bukan demokratis untuk melegitimasikan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Ketiga, Fenomena negara demokrasi dengan segala kelebihannya yang mejemuk, dinamis, modern, dengan segala dinamikanya berhadapan dengan kegagalan alternatif seperti sentralistik, rezim otoriter, telah memberikan sebuah gambaran bagaimana kondisi demokrasi berjalan kedepan. Keempat, besarnya pengaruh dan kekuasaan negara-negara yang memiliki pemerintahan poliarkhis.

Robert A Dahl mengemukakan unsure yang harus dipenuhi dalam sebuah negara yang demokratis, yaitu unsure Modern, Dinamic dan Pluralis. Tentang pemerintahan yang demokratis ini, Dahl memberikan 5 (lima) ciri-ciri umum bagaimana suatu pemerintahan disebut demokratis.[16] Yang pertama yaitu, berjalannya pemerintahan sustu negara berdasar atas hukum yang ditegakkan, seperti misalnya Konstitusi, Hak Asasi Manusia, Undang-Undang, dan pengadilan yang bebas serta tidak memihak. Kedua, berjalannya roda pemerintahan berada dibawah kontrol yang nyata dari masyarakat. Disini partisipasi politik masyarakat yang tinggi sangat diperlukan. Ketiga, adanya Pemilihan Umum (Pemilu) yang bebas, berkala, dan memungkinkan mayoritas penduduk ikut memilih dan dipilih. Keempat, Adanya prinsip mayoritas, yaitu di sahkannya pengambilan secara mufakat, bila dalam pemilihan tidak tercapai dengan suara terbanyak. Yang terakhir, adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis masyarakat sipil baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, serta budaya.

Prinsip mayoritas seperti yang diusung Dahl sebagai unsure dari demokrasi sangat terkait dengan kesejahteraan atau kemakmuran perorangan. Jika tidak dihindari, kekuayaan yang diperoleh dari suara mayoritas sangat memungkinkan terjadinya penghisapan seseorang yang berkuasa pada orang lain yang tidak punya kekuasaan. Oleh karena itu, Wick Musell pada tahun 1886 telah merumuskan aturan bulatnya bahwa semua keputusan mengenai barang-barang kolektif dan pembagian biaya yang berhubungan dengan itu, harus ditetapkan dengan suara bulat.[17] Mengacu dari apa yang disampaikan Mussel, keberadaan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sudah cukup tepat dan sangat penting untuk diaplikasikan sebagaimana mestinya. Tentang hal tersebut, Hennipman (1977)[18] menyebut aturan suara bulat ini sebagai dalil optimum ekonomis politis.[19]

Pandangan Dahl tentang demokrasi terlihat cukup ekstrim dengan menyatakan bahwa disatu sisi demokrasi merupakan sarana untuk mencapai tujuan, dan disisi lain demokrasi merupakan ideology yang menjadi tujuan dalam perjuangan.[20] Dikaitkan dengan kesejahteraan, kita mungkin lebih sepakat pernyataan Dahl yang pertama bahwa demokrasi hanyalah sarana untuk mencapai tujuan kesejahteraan itu sendiri, bukan demokrasi untuk demokrasi. Dalam hal ini, kritik Jusuf Kalla pada demokrasi sangatlah tepat.

Komitmen Kesejahteraan

Menurut R. G. Gettell, partai politik adalah suatu wadah yang terdiri dari kelompok masyarakat yang bersatu didalamnya, dimana mereka besatu dengan memakai kekuasaan yang dimiliki untuk beraksi dalam perpolitikan. Partai politik merupakan institusi yang sangat berpengaruh dan bertanggungjawab terhadap berjalannya pemerintahan negara dibawah system demokrasi.

Melalui partai politik, demokrasi diharapkan dapat melahirkan elit penguasa yang dapat mengabdikan dirinya untuk kepentingan publik. Kesejahteraan rakyat, adalah keniscayaan yang harus diupayakan elit penguasa, hal ini terkait dimana kesejahteraan merupakan hal dasar yang dibutuhkan oleh public.

Sudah menjadi kebiasaan umum, jika kemudian tiap-tiap orang dalam partai politik saling berlomba untuk dapat menjadi elit partai politik yang berkuasa, bagi yang sudah menjadi penguasa akan sekuat tenaga tetap menjaga posisi yang dimilikinya. Kondisi seperti itu sebenarnya tidak masalah jika siapapun yang menjadi penguasa, kesejahteraan rakyat tetap menjadi focus utama yang diperjuangkan. Sebab peran keberadaan elit politik,[21] dalam masa transisi demokrasi seperti sekarang ini sangat berpengaruh pada munculnya kebijakan publik yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.

Tentang keberadaan elit dalam partai politik, Robert Michels menegaskan bahwa elit adalah gejala umum kekuasaan yang didapati secara universal didalam setiap rezim. Elit adalah gejala yang selalu ada dalam kelompok atau partai komunis sekalipun yang secara ideologis sangat mengagungkan egalitarianisme.[22]

Diruang transisi demokrasi ini, ada suatu kondisi yang disebut sebagai proses reforma pactada, yaitu sebuah istilah untuk menggambarkan proses reformasi yang tengah berjalan banyak dinegosiasikan oleh kaum elite.[23] Dalam kondisi ini, demokratisasi bisa berjalan maju di ruang transisi demokrasi karena kaum elite membuat deal di antara mereka untuk sepakat membagi kekuasaan serta memerintah secara bersama-sama. Menurut pendukung teori ini, proses negosiasi politik cukup mudah dilakukan oleh para elit politik kita karena sesusungguhnya, kaum elite lah yang benar-benar dapat menentukan negeri kita ini, dimana jumlahnya ini hanya segelintir orang saja.

Dalam proses partisipasi politik, kaum non elit bertindak atas dasar adanya pengaruh dari kaum elit. Keadaan ini ditegaskan oleh Samuel P. Huntington dan Joan Nelson bahwa dalam pola partisipasi politik yang dilakukan oleh kaum miskin atau kelas bawah (non elit) tetap akan dimotori atau dipimpin oleh politisi kaum elit atau kelas menengah, dimana tujuan dari para kelas menengah ini terkait dengan adanya komitmen ideologis dan atau jawaban terhadap persaingan politik yang ada. Dari sisi partisipannya, tujuan yang dikedepankan adalah untuk memperbaiki keadaan materi- materi diri sendiri dan sesamanya, dengan bentuk-bentuk tindakan kolektif, seperti dengan memberikan suara, berkampanye, dan berdemonstrasi.[24]

Sudah terbiasa dalam bangsa kita jika ada sesuatu hal terkait dengan pemerintahan, maka kaum elitlah yang harus bertemu secara rutin untuk menuntaskannya. Apalagi, kondisi ini memang agak sesuai dengan salah satu elemen dalam kultur politik kita yang sering menekankan loby, konsensus, kompromi, dan dialog dalam berhadapan dengan masalah-masalah yang ada. Setiap berhadapan dengan sebuah impasse, kita selalu berseru agar para elite bertemu, berkumpul mencari jalan keluar bersama.

Hampir diseluruh Negara didunia, khususnya negara yang mengadopsi system demokrasi, partai politik merupakan salah satu lembaga organisasi yang sangat utama dalam pemerintahan. Begitu pentingnya peran partai politik, hamper semua sector berjalannya pemerintahan suatu Negara ditentukan oleh partai politik. Hal ini terkait dengan kebanyakan para elit yang mempunyai kebijakan menentukan dalam Negara berasal dari orang partai politik dan kebijakannya muncul dari institusi partai politik. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa tiang utama dari bangunan system pemerintahan demokrasi adalah partai politik.

Demokrasi sebagai sebuah system politik, menjelma menjadi budaya politik ketika demokrasi, yang didalamnya terdapat tindakan politik, kemudian berpola menjadi perilaku politik, menjadi “tata laku” yang berkelanjutan di lakukan oleh para penyelenggara negara dan warga negara.

Perilaku elite partai politik, di samping dipengaruhi oleh faktor kepribadian juga ditentukan oleh faktor motivasi yang mendasari perilaku serta sikap politiknya yang dibangun atas value system selama hidupnya. Komitmen kepada pembuatan kebijakan public yang berpihak pada kesejahteraan rakyat sangat ditentukan oleh karakter dasar dari para elit politik. Karakter dasar elit ini dipengaruhi berasal dari komunitas mana para elit poltik ini berasal. Jika seorang elit politik berasal dari kalangan petani maka kemungkinan lebih besar kepada petani, jika berasal dari pegawai negeri maka kemungkinan pada pegawai negeri, dsb. Kondisi seperti itu bukanlah kepastian dan kemungkinan besar bisa berubah. Perlu komitmen kebersamaan yang kuat agar para elit politik ini berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat tanpa dipeta-petakan dan tanpa terkecuali.

Bukan pada konsep politik dan demokrasi sebagai sebuah systemlah yang menyebabkan gagalnya mewujudkan kesejahteraan, akan tetapi oleh tindakan politik dan perilaku politik dari elit politik yang lalai pada komitmen utama terwujudnya kesejahteraan rakyat lah yang lebih mempengaruhinya.

Dalam demokrasi, terdapat tiga elemen dasar yaitu kompetisi, partisipasi, kebebasan politik dan sipil. Tiga elemen dasar tersebut terkait dengan pemilu, partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan, dan praktek kebebasan politik dan sipil yang akan memberikan gambaran tentang paradoks yang mengiringi demokratisasi kita saat ini.

Pada era reformasi sekarang ini, beberapa pakar melihat adanya jaminan atas partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan juga lebih baik dari era sebelumnya, hanya saja memang masih terlihat terbatas. Akibatnya, partisipasi publik lebih banyak bersifat formalistik untuk melegitimasi dikeluarkannya suatu kebijakan. Karenanya, tidaklah mengherankan kalau sebagian besar kebijakan lebih banyak ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan para elit politik daripada kepentingan masyarakat atau hanya menguntungkan kelompok masyarakat tertentu.

Negara yang maju adalah negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) nya. SDA sebagai unit modal dan SDM sebagai unit pengelola. Pengelolaan SDA dengan tepat agar dapat berhasil guna sangat diperlukan mengingat kekayaan SDA suatu negara tidak mungkin dapat memberikan kesejahteraan begitu saja tanpa dilakukannya pengelolaan yang baik oleh SDM yang handal. Pengelolaan SDA sangat terkait erat dengan situasi dan kondisi ekonomi-politik suatu negara. Perilaku dan tindakan elit politik, sebagai decision maker, pada berbagai tingkatan dari mulai lokal, nasional, maupun internasional menjadi factor penentu bagaimana caranya supaya SDA yang ada dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat luas.

Kesimpulan

Demokrasi sebagai sebuah system pemerintahan memungkinan semua warga negara dengan ketentuan tertentu, untuk dapat dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Partai politik ada sebagai syarat utama dalam bangunan demokrasi yang menggunakan system perwakilan. Baik-buruknya demokrasi yang tengah dijalani, salah satunya sangat ditentukan oleh gerak partai politik. Partai politik adalah sebuah komunitas, dimana didalamnya terdapat elit politik. Elit politik itulah yang cukup menentukan bagaimana wajah, gerak, dan arah dari partai politik. Tindakan politik baik dalam bentuk komunikasi politik, mobilitas politik atau yang lainnya dari elit politik, adalah penentu eksistensi dari kepercayaan rakyat pada demokrasi. Tujuan demokrasi yang salah satunya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah tugas yang menjadi tanggung jawab utama dari para elit politik yang menjadi penguasa.

Dalam ruang pemerintahan demokrasi, rakyat adalah raja yang memberikan mandat kepada seseorang untuk berkuasa atau tidak. Artinya, bagi pihak yang mencalonkan dirinya sebagai wakil rakyat dalam lembaga legislatif maupun eksekutif, semaksimal mungkin harus dapat dekat dengan rakyat dan siap bekerja untuk kepentingan rakyat. Sangatlah tidak tepat ketika pemerintahan yang berkuasa belum berhasil mewujudkan kesejahteraan rakyat, mengurangi angka kemiskinan, menekan gerakan sparatisme, dsb, maka politik sebagai sebuah konsep dan demokrasi sebagai sebuah system digugat untuk digantikan dengan system pemerintahan yang lainnya. Artinya, tindakan dan perilaku politik para elit politik sebagai decision maker dan penggerak dari roda demokrasilah yang dipertanyakan komitmennya sehingga tujuan utama dari demokrasi itu sendiri tidak dapat diraih. Dalam konteks sirkulasi elit untuk mengadakan pergantian hardware, yakni para elit politik itu sendiri, sangat perlu dilakukan.

Disini, dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan. Penanggulangan kemiskinan yang temporer dengan penciptaan lapangan kerja sesaat dirasa kurang tepat. Sekalipun demikian, penciptaan lapangan kerja temporer lebih baik dari pada tidak ada sama sekali dalam keadaan mendesak.

Dari uraian ini, dapat direkomendasikan beberapa hal untuk dapat dilakukan pada seluruh elit politik sebagai para penyelenggara negara seperti:

Revitalisasi fungsi partai politik dalam hal pendidikan politik kepada seluruh warga Negara bahwa hakekat politik sebenarnya adalah untuk kesejahteraan rakyat dan bukan untuk memperoleh kekuasaan semata. Pendidikan kewarganegaraan untuk menyadarkan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dan penyelenggara Negara juga harus terus ditingkatkan.

Revitalisasi fungsi partai politik dalam hal rekruitmen politik dengan memperbaiki system rekruitmen. Parpol harus memastikan bahwa orang-orang yang direkrut menjadi kader adalah sumber daya manusia yang berkualitas baik dari sisi, intelektual, moral dan spiritual, serta mempunyai komitmen besar terhadap kemaslahatan bangsa, salah satunya untuk dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana yang menjadi tujuan utama dari demokrasi.

Partai politik yang berperan sebagai penyelenggara Negara dan sebagai oposisi harus melaksanakan tugasnya masing-masing dengan baik dan benar.

Memastikan jalannya kinerja lembaga negara dari mulai eksekutif, legislative sampai dengan yudikatif untuk bekerja sekeras-kerasnya agar dapat mewujudkan kemaslahatan bangsa.

Memaksimalkan kerja-kerja birokrasi pemerintahan yang terkait dengan kesejahteraan rakyat agar bekerja sebagaimana mestinya untuk kesejahteraan rakyat.

Memastikan seluruh Pegawai Negeri Sipil, Polisi, dan Militer sebagai alat Negara agar bertugas sebagaimana mestinya untuk dapat mewujudkan efektivitas dan efisiensi kerja.

Memprioritaskan alokasi anggaran Negara untuk kegiatan-kegiatan yang berguna bagi kesejahteraan rakyat secara langsung tanpa terkecuali. Bukan kesejahteraan kelompok tertentu, profesi tertentu, kategori social tertentu, kelas social tertentu, dsb.

Dilakukannya advokasi kebijakan public agar berfokus pada kesejahteraan rakyat.

Meningkatkan jiwa kewirausahaan warga dengan pendidikan kewirausahaan, pendampingan kewirausahaan, serta penjaminan kredit untuk modal usaha kecil berbunga rendah dan proses mudah.

Daftar Pustaka

Arend, Hannah. Human Condition: A Study of The Central Dillemas Facing Modern Man. Anchor Book. New York.

Banfield, Edward C (1961). Political Influence. The Free Press of Glencoe. New York.

Bentley, Arthur F (1967). The Process of Government. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge. Mass

Bottomore, TB (1966). Elites and Society. Penguin Books.

Catlin, G.E.G (1930). A Study of Prinsiples of Politics. Macmillan. New York.

Dahl, Robert (1963). Modern Political Analysis. Prentice-Hall Engglewood Cliffs, N.J

__________ (1992). Demokrasi dan Para Pengkritiknya. YOI. Jakarta. Jilid I.

____________ (2001). Perihal Demokrasi. YOI. Jakarta

Easton, David (1953). The Political Sistem. Alfreed A. Knopf. New York.

Huntington P, Samuel. Nelson, Joan (1990). Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Rineka Cipta. Jakarta.

_________________(2004). Tertib Politik Pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Raja Grafindo. Jakarta.

Lasswell, Harold (1958). Politics: Who Gets What, When, How. Meridian Books, New York.

Mallarangeng, Rizal. Konsensus Elite Dan Politik Kekuatan. KOMPAS. 25 April 2001

Michels, Robert (1968), Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendency of Modern Democracy, (London: Free Press)

Van den Doel. J. Prof. dr. (1978). Demokratie En Welvaartstheorie. Samsom Uitgeverij. Netherland.

Waldron, Jeremy (2000), Arendt’s Constitutional Politics, dalam Villa, Dana (ed), The Cambridge Companion to Hannah Arendt, (Cambridge: Cambridge Uni Press).

Weinstein, Michael (1971). Philosophy, theory and Methode in Contemporary Thought, Scoot, Forresman and Co. Gienview. III.

Yack, Bernard (1993), The Problem of Political Animal: Community, Justice in Aristotelian Politics. Uni California Press, California.



[1] lihat James Scott, 1981

[2] Dalam penelitian tersebut, keterbatasan akses dan kesempatan memiliki arti yang berbeda-beda pada setiap daerah yang ada di Indonesia. Pelaksanaan penelitian diselenggarakan dalam rangka mendukung program penanggulangan kemiskinan tersebut dikoordinasikan melalui kegiatan proyek pengembangan data berbasis lokal dan dilaksanakan pada 8 propinsi di 14 Kabupaten yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Daerah yang diambil sebagai sampel terpilih antara lain mewakili daerah pantai, daerah dataran tinggi, daerah perdesaan (rural) , daerah perkotaan (urban) , daerah aliran sungai (DAS) seperti di Propinsi Kalimantan Tengah dan daerah beriklim kering seperti di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Metoda survey dilakukan dengan wawancara mendalam ( Indepth Interview ), FGD ( Focus groups discussion ) melalui diskusi kelompok terfokus, diskusi kelompok informal dan pengamatan langsung.

[3] Kompas 2004

[4] Yack, Bernard (1993), The Problem of Political Animal: Community, Justice in Aristotelian Politics. Uni California Press, California, hlm. 63

[5] Lihat Arend, Hannah. Human Condition: A Study of The Central Dillemas Facing Modern Man. Anchor Book. New York.

[6] Dahl, Robert A.(2004). Perihal Demokrasi. YOI. Jakarta.

[7] Waldron, Jeremy (2000), Arendt’s Constitutional Politics, dalam Villa, Dana (ed), The Cambridge Companion to Hannah Arendt, (Cambridge: Cambridge Uni Press).

[8] Lasswell, Harold (1958). Politics: Who Gets What, When, How. Meridian Books, New York.

[9] Easton, David (1953). The Political Sistem. Alfreed A. Knopf. New York.

[10] Catlin, G.E.G (1930). A Study of Prinsiples of Politics. Macmillan. New York. Untuk definisi ini lihat juga Dahl, Robert (1963). Modern Political Analysis. Prentice-Hall Engglewood Cliffs, N.J

[11] Banfield, Edward C (1961). Political Influence. The Free Press of Glencoe. New York.

[12] Weinstein, Michael (1971). Philosophy, theory and Methode in Contemporary Thought, Scoot, Forresman and Co. Gienview. III.

[13] Bentley, Arthur F (1967). The Process of Government. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge. Mass

[14] Samuel P Huntington (2004). Tertib Politik Pada Masyarakat yang Sedang Berubah. Raja Grafindo. Jakarta. hal 172

[15] Robert A,Dahl (1992). Demokrasi dan Para pengkritiknya. YOI. Jakarta. Jilid I. hal 161.

[16] Bisa dilihat dalam bukunya Robert A Dahl (2001). Perihal Demokrasi. YOI. Jakarta.

[17] Sebagaimana terdapat juga dalam buku Prof. dr. J. van den Doel (1978). Demokratie En Welvaartstheorie. Samsom Uitgeverij. Netherland.

[18] Dalam ibid

[19] Konstruksi pemikiran ini bertolak dari upaya mengejar “efisiensi utopia”, dengan membuat aturan-aturan yang akan membawa kemakmuran maksimal dalam suatu dunia utopis, dimana pembagian pendapatan diatur secara memuaskan bagi semuanya. Lebih tepatnya lagi aturan-aturan bulat dalam suatu masyarakat utopis adalah suatu sarana untuk menjamin agar keputusan-keputusan politik memenuhi criteria Pareto, seorang pemikir social dari Italia.

[20] Ibid

[21] Tentang konsep elit ini, lihat dalam Bottomore, TB (1966). Elites and Society. Penguin Books.

[22] Lihat Michels, Robert (1968), Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendency of Modern Democracy, (London: Free Press)

[23] Mallarangeng, Rizal. Konsensus Elite Dan Politik Kekuatan. KOMPAS. 25 April 2001

[24] Huntington P, Samuel. Nelson, Joan (1990). Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Rineka Cipta. Jakarta.

Seabad Kebangkitan Nasional

Bulan Mei ini mejadi momentum penting bagi sejarah kebangkitan bangsa Indonesia. Sebab, setiap tanggal 20 Mei bangsa kita selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini merujuk pada berdirinya satu perkumpulan bumiputra bernama Boedi Oetomo di Jakarta pada 20 Mei 1908 lalu.

Perkumpulan Boedi Oetomo ini lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi yang sering dilakukan di perpustakan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen/Sekolah Kedokteran Bumiputra (STOVIA) oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Suryadi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan.

Pun begitu, pemerintah Hindia Belanda juga tidak banyak menolong kaum pribumi. Sebaliknya, merekalah yang saat itu justru menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peratura-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.

Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Mereka beranggapan bahwa masa depan bangsa dan tanah air ada di tangan mereka. Lahirlah kesadaran tentang kesatuan bangsa untuk menentang kekuasaan penjajah Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air.

Dari kesadaran itu maka muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang dapat mempersatukan semua golongan serta dapat memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan itu tidak bersifat eksklusif, tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan dan pendidikan.

Maka pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, murid-murid STOVIA, OSVIA, Sekolah Guru, Sekolah Pertanian, dan Sekolah Kedokteran Hewan dimotori Soetomo mengadakan pertemuan yang bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA. Pertemuan itu kemudian melahirkan perkumpulan denan nama Boedi Oetomo.

Sangat jelas bahwa berdirinya Boedi Oetomo adalah semangat untuk keluar dan bangkit dari pratik-praktik penindasan, penjajahan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kemiskinan dan kebodohan yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda terhadap penduduk bumiputra.

Momentum Hari Kebangkitan Nasional itu kini sudah memasuki usia 100 tahun (1908-2008). Jika kita analisis secara kualitatif maka kesadaran berbangsa untuk maju pada saat ini seharusnya sudah memetik buahnya. Sebuah kenyataan bangsa yang maju tanpa kehilangan jari dirinya.

Tetapi realitas Indonesia hari ini adalah sebuah realitas yang memilukan. Indonesia yang tidak mampu beranjak maju dan mengalami kemandekan di segala bidang. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang mengalami kemunduran. Bahkan nyaris kehilangan kedaulatannya sebagai sebuah bangsa dan negara.

Krisis multidimensi tak kunjung surut, kebutuhan pokok membumbung tinggi. Busung lapar, gizi buruk dan polio terjadi di mana-mana. Setiap hari rakyat menjerit kelaparan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta kriminalitas kian marak dan meningkat. Pendidikan dan kesehatan makin mahal.

Konflik antarsuku, antargolongan, antarkelompok, antaretnis dan antaragama terjadi hampir setiap hari. Di beberapa daerah juga mulai kencang dan menggema tuntutan untuk memisahkan diri dari NKRI, seperti di Poso, Aceh hingga Papua. Kenyataan ini sungguh sangat mengiris hari kita sebagai masyarakat.

Karena itu, seabad kebangkitan nasional ini harus dijadikan momentum bagi upaya untuk mengelola beragam persoalan tersebut dengan lebih mengedepankan pada pendekatan yang holistik. Minimal sebagai ruang refleksi bagi terwujudkan Indonesia yang adil, makmur, damai, sejahtera dan demokratis sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini.

Memudarkan rasa kebangsaan (nasionalisme) dan buruknya moralitas bangsa menjadi akar persoalan bangsa akhir-akhir ini. Rasa kebangsaan yang makin menipis membuat komponen bangsa dalam payung Indonesia tidak lagi bersatu padu mempertahankan perbedaan dan kebenekaan. Sehingga tatanan, hukum, politik, agama, dan demokrasi yang mesti dijunjung tinggi dengan mudah dilanggar dan ditabrak.

Jika kita merefleksikan kembali lahirnya Boedi Oetomo 20 Mei 1908 silam, kita diingatkan betapa awal kebangkitan nasional sesungguhnya berakar pada pentingnya rasa kebangsaan. Dengan semangat inilah proses nasionalisme menemukan bentuknya, hingga lahir Sumpah Pemuda (1928) dan Proklamasi Kemerdekaan (1945).

Sejarawan Inggris, Arnold Toynbee menamakan proses ini sebagai Nasionalisme Herodianisme. Sebuah semangat kebangsaan yang heroik dan mampu mewujudkan cita-citanya dengan caranya sendiri. Semangat nasionalisme inilah yang kini mulai tergerus di hati sanubari rakyat Indonesia.

Mohammad Hatta pernah mengatakan bahwa sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan bahasa dan persamaan agama. Bangsa ditentukan oleh suatau keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan.

Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama di derita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama. Pendeknya karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam harti dan otak (Mohammad Hatta: Beberapa pokok pikiran, 1992).

Dari pengalaman sejarah di atas, tampak bahwa rasa kebangsaan menjadi faktor magnetik yang mampu menarik begitu sangat kuat seluruh komponen bangsa untuk mencapai idealitas yang diinginkan. Inilah pelajaran berharga dari Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia pada saat itu.

Ketundukan rasional pada cita-cita luhur menjadi moralitas yang begitu kuat melekat pada diri pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketundukan rasional pada cita-cita luhur bangsa Indonesia atau sebuah komitmen ideologis yang begitu kuat telah membawa bangsa Indonesia ke alam kemerdekaan.

Karena itu, perlu ada kesadaran bersama semua anak bangsa untuk berpikir bersama, merumuskan bersama, merencanakan bersama dan melaksanakan pembangunan oleh kita semua secara sadar dengan semangat Kebangitan Nasional Ini.

Dengan kesadaran tersbut akan merasa bahwa proses pembangunan adalah suatu kewajiban dan tanggung jawab bersama sebagai warga negara. Kesadaran ini sekaligus menjadi suatu dorongan dan timbulnya semangat kebangsaan membangun masyarakat dan bangsa dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, yakni mencapai kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. * Fungsionaris DPP Partai GOLKAR Asal Ciamis