Senin, 04 Agustus 2008

Seabad Kebangkitan Nasional

Bulan Mei ini mejadi momentum penting bagi sejarah kebangkitan bangsa Indonesia. Sebab, setiap tanggal 20 Mei bangsa kita selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ini merujuk pada berdirinya satu perkumpulan bumiputra bernama Boedi Oetomo di Jakarta pada 20 Mei 1908 lalu.

Perkumpulan Boedi Oetomo ini lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi yang sering dilakukan di perpustakan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen/Sekolah Kedokteran Bumiputra (STOVIA) oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan Suryadi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan.

Pun begitu, pemerintah Hindia Belanda juga tidak banyak menolong kaum pribumi. Sebaliknya, merekalah yang saat itu justru menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peratura-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.

Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Mereka beranggapan bahwa masa depan bangsa dan tanah air ada di tangan mereka. Lahirlah kesadaran tentang kesatuan bangsa untuk menentang kekuasaan penjajah Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air.

Dari kesadaran itu maka muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang dapat mempersatukan semua golongan serta dapat memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan itu tidak bersifat eksklusif, tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan dan pendidikan.

Maka pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, murid-murid STOVIA, OSVIA, Sekolah Guru, Sekolah Pertanian, dan Sekolah Kedokteran Hewan dimotori Soetomo mengadakan pertemuan yang bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA. Pertemuan itu kemudian melahirkan perkumpulan denan nama Boedi Oetomo.

Sangat jelas bahwa berdirinya Boedi Oetomo adalah semangat untuk keluar dan bangkit dari pratik-praktik penindasan, penjajahan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kemiskinan dan kebodohan yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda terhadap penduduk bumiputra.

Momentum Hari Kebangkitan Nasional itu kini sudah memasuki usia 100 tahun (1908-2008). Jika kita analisis secara kualitatif maka kesadaran berbangsa untuk maju pada saat ini seharusnya sudah memetik buahnya. Sebuah kenyataan bangsa yang maju tanpa kehilangan jari dirinya.

Tetapi realitas Indonesia hari ini adalah sebuah realitas yang memilukan. Indonesia yang tidak mampu beranjak maju dan mengalami kemandekan di segala bidang. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang mengalami kemunduran. Bahkan nyaris kehilangan kedaulatannya sebagai sebuah bangsa dan negara.

Krisis multidimensi tak kunjung surut, kebutuhan pokok membumbung tinggi. Busung lapar, gizi buruk dan polio terjadi di mana-mana. Setiap hari rakyat menjerit kelaparan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta kriminalitas kian marak dan meningkat. Pendidikan dan kesehatan makin mahal.

Konflik antarsuku, antargolongan, antarkelompok, antaretnis dan antaragama terjadi hampir setiap hari. Di beberapa daerah juga mulai kencang dan menggema tuntutan untuk memisahkan diri dari NKRI, seperti di Poso, Aceh hingga Papua. Kenyataan ini sungguh sangat mengiris hari kita sebagai masyarakat.

Karena itu, seabad kebangkitan nasional ini harus dijadikan momentum bagi upaya untuk mengelola beragam persoalan tersebut dengan lebih mengedepankan pada pendekatan yang holistik. Minimal sebagai ruang refleksi bagi terwujudkan Indonesia yang adil, makmur, damai, sejahtera dan demokratis sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini.

Memudarkan rasa kebangsaan (nasionalisme) dan buruknya moralitas bangsa menjadi akar persoalan bangsa akhir-akhir ini. Rasa kebangsaan yang makin menipis membuat komponen bangsa dalam payung Indonesia tidak lagi bersatu padu mempertahankan perbedaan dan kebenekaan. Sehingga tatanan, hukum, politik, agama, dan demokrasi yang mesti dijunjung tinggi dengan mudah dilanggar dan ditabrak.

Jika kita merefleksikan kembali lahirnya Boedi Oetomo 20 Mei 1908 silam, kita diingatkan betapa awal kebangkitan nasional sesungguhnya berakar pada pentingnya rasa kebangsaan. Dengan semangat inilah proses nasionalisme menemukan bentuknya, hingga lahir Sumpah Pemuda (1928) dan Proklamasi Kemerdekaan (1945).

Sejarawan Inggris, Arnold Toynbee menamakan proses ini sebagai Nasionalisme Herodianisme. Sebuah semangat kebangsaan yang heroik dan mampu mewujudkan cita-citanya dengan caranya sendiri. Semangat nasionalisme inilah yang kini mulai tergerus di hati sanubari rakyat Indonesia.

Mohammad Hatta pernah mengatakan bahwa sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan bahasa dan persamaan agama. Bangsa ditentukan oleh suatau keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan.

Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama di derita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama. Pendeknya karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam harti dan otak (Mohammad Hatta: Beberapa pokok pikiran, 1992).

Dari pengalaman sejarah di atas, tampak bahwa rasa kebangsaan menjadi faktor magnetik yang mampu menarik begitu sangat kuat seluruh komponen bangsa untuk mencapai idealitas yang diinginkan. Inilah pelajaran berharga dari Kebangkitan Nasional bangsa Indonesia pada saat itu.

Ketundukan rasional pada cita-cita luhur menjadi moralitas yang begitu kuat melekat pada diri pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketundukan rasional pada cita-cita luhur bangsa Indonesia atau sebuah komitmen ideologis yang begitu kuat telah membawa bangsa Indonesia ke alam kemerdekaan.

Karena itu, perlu ada kesadaran bersama semua anak bangsa untuk berpikir bersama, merumuskan bersama, merencanakan bersama dan melaksanakan pembangunan oleh kita semua secara sadar dengan semangat Kebangitan Nasional Ini.

Dengan kesadaran tersbut akan merasa bahwa proses pembangunan adalah suatu kewajiban dan tanggung jawab bersama sebagai warga negara. Kesadaran ini sekaligus menjadi suatu dorongan dan timbulnya semangat kebangsaan membangun masyarakat dan bangsa dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, yakni mencapai kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. * Fungsionaris DPP Partai GOLKAR Asal Ciamis

2 komentar:

SANTRI GODEBAG mengatakan...

Assalamu Alaikum

Kepaada Para Politisi kapan ya sadarnya. Tiap hari saya bergelut dengan politisi semuanya penuh retorika dan tipu daya. Ketika nama Bang Kholis Malik muncul ada secercah harapan. Tapi sayang nomornya jauh. Apakah akan jadi anggota DPR-RI. Sementara Agus Gurlaya yang pendatang baru No 1. Tragis lagi dengan Pak Agun Gunandjar Sudarsa yang banyak dikenal dan banyak berjasa untuk Tatar Galuh ditaruh No 4. Tapi saya sok hayang seuri saat berbincang dengan Pak Toto. Katanya Politik itu kejam lebih kejam dari Ibu tiri.
Wassalam
Dadang AR.
Koncona Pak Trian, sareng Dadang Hamara, Sareng Pak Agun sareng sadayana. Upami bade mendakan saya mah di DPRD Ciamis wae. Taroskeun kuncoro

Unknown mengatakan...

Ngirig bingah, aya wargi Ciamis anu gaduh seeur pengalaman kawas akang. Nepangkeun simkuring Mustafid kawit ti Banjarsari, mung ayeuna abi nuju kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta gabung sareng barudak Galuh Jaya. Punteun, dupi akang kCiamisna kawit mana?